Sabtu, 11 Februari 2017

SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI MENURUT PANDANGAN ISLAM

A. Latar Belakang

Pada Saat ini banyak sekali Negara yang menganut Sistem Demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi sendiri artinya sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap tugasnya. Oleh karena rakyat tidak mungkin rakyat mengambil keputusan karena jumlah terlalu besar maka dibentuklah dewan perwakilan rakyat. Sistem ini popular karena melibatkan masyarakat merupakan komponen utamanya. Pemerintah dipilh langsung oleh rakyat yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi dan membuat kebijakan untuk kepentingan rakyat demi kesejahteraan rakyat. Sistem Demokrasi juga digunakan di Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Indonesia memiliki Badan Legislatif yang anggotanya merupakan wakil rakyat. Rakyat juga berwenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Dalam Islam, demokrasi sudah diajarkan oleh Rasulullah. Contohnya, pada saat Perang Badar beliau mendengarkan saran sahabatnya mengenai lokasi perang walaupun itu bukan pilihan yang diajukan olehnya. Pada saat ini, banyak Negara yang mengadaptasi sistem Demokrasi yang berasal dari Negara Barat. Padahal, sistem demokrasi tersebut belum tentu sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Sistem Demokrasi di Barat memiliki tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan materialistis. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari Sistem Demokrasi yang sejalan  dengan aturan Islam.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah dan konsep demokrasi dalam Islam?

2.      Bagaimana pandangan Islam terhadap demokrasi?

3.      Apakah system demokrasi didatangkan oleh aqidah islam ?

4.      Bagaimana system pemerintahan baik yang menurut islam ?

C.  Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Sistem Demokrasi dari sudut pandang Agama Islam.

2.      Sejarah Demokrasi
Demokrasi terlahir di Yunani dan berkembang pesat di Eropa atau belahan bumi bagian utara, sementara Islam lahir di Arab dan berkembang pesat di wilayah selatan. Demokrasi merupakan produk akal sedangkan Islam adalah wahyu yang difirmankan kepada Rasulullah SAW. Fakta Sejarah menunjukkan bahwa pemerintahan yang dijalankan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa’ al-Rasyidin tidak menyebutkan atau berlandaskan pada demokrasi. Pertemuan Islam dan Demokrasi merupakan pertemuan peradaban dengan seiringnya waktu dan demokrasi merupakan prinsip hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Demokrasi berasal dari ideology kapitalisme.System demokrasi datang dengan pandangan bahwa manusialah yang membuat aturan untuk dirinya sendiri, oleh karena itu rakyat adalah sumber kekuasaan, dan rakyatlah yang membuat sistem-sistemnya.Rakyatlah yang mempekerjakan penguasa untuk memerintah mereka. Dan rakyat akan menurunkan penguasa tersebut kapan saja. Sesuai dengan kehendaknya. Rakyat yang membuat sistem pemerintahan yang diinginkan, karena pemerintah adalah aqd[un] ijarah (kontrak kerja) antara rakyat dengan penguasa, agar penguasa memerintah dengan sistem/aturan yang dibuat oleh rakyat.
Barat-dalam mayoritas kondisi-dengan pengertian yang diberikan oleh revolusi perancis. Dan istilah ini mencakup perkara yang luas, hak absolut rakyat untuk menentukan aturan dalam seluruh persoalan secara umum, dengan suara mayoritas orang yang mewakilinya. Atas dasar ini “kehendak rakyat” yang terpancar dari sistem demokrasi yakni-berupa pandangan hidup bagi minoritas-bahwa kehendak rakyat ini memiliki kebebasan yang dibatasi dengan batasan apapun yang berasal dari luar. Jadi rakyat adalah tuan bagi dirinya sendiri, dan tidak dimintai pertanggung jawaban didepan kekuasaan yang bukan kekuasaanya.
 Demokrasi termanifestasi dalam hokum mayoritas artinya demokrasi adalah pemerintah mayoritas yang penetapannya melalui pemilu, dan tercermin pada majelis umat yang dipilih langsung oleh umat.Maka kehidupan perwakilan yang tegak atas dasar pemilu dan mempresentasikan umat, Merupakan cermin kekuasaan rakyat. Ia mengaturnya dengan hukum mayoritas. Dan undang undang dijalankan dipandang sebagai alat pemerintahan. Undang undang yang keluar dati kehendak umum mayoritas wakil yang terpilih, dipandang sebagai undang undang adil dan mencapai harapan dicita citakan umat.  Mencerminkan kebenaran-kebeneran yang harus diterima. Dengan demikian, falsafah demokrasi tegak berdasarkan keimanan terhadap karakteristik kemanusiaan, dan kepercayaan kepada kesiapan alami individu untuk beriman kepada kebenaran-kebenaran dan mengambil produk hukumnya, bilamana disodorkan kepada mereka tawaran yang sehat dan memuaskan. Jadi pemerintahan yang dijalankan oleh pihak mayoritas memberikan kepercayaan pada pendapat hasil dari mengikuti jumlah mayoritas. Artinya sistem demokrasi memberikan pendapat mayoritas kunci kebenaran.
Kedaulatan rakyat yang tercermin dengan kehendak umum mayoritas, inilah yang memiliki hak pengekspresian perundang undangan, hak untuk mengeluarkan hokum atas sesuatu dan perbuatan dengan membuat undang-undang dan undang-undang dasar, sesuai dengan apa yang diilhamkan akal mayoritas orang yang terpilih di majelis umat untuk melangsungkan kehidupan perwakilan. Dan di sana tidak ada sesuatu yang berubah tanpa pendapat mayoritas. Jadi pendapat mayoritas memiliki jaminan ma’shum (terjaga dari kesalahan) dan disucikan.Tidak ada suara yang lebih tinggi dari suara pendapat mayoritas, dan tidak ada kekuasaan di atas kekuasaannya. Jadi yang paling menonjol dari ciri-ciri demkrasi adalah:
a.       Kedaulatan adalah milik umat secara mutlak
b.      Kekudusan (keagungan) kehendak umum mayoritas
c.       Pendapat mayoritas adalah standar kebenaran dan yang mengungkapkan realitas kebenaran
d.      Akal merupakan satu satunya rujukan untuk membuat undang-undang
3.      Konsep Demokrasi
Aqidah kapitalisme, yang diyakini oleh manusia di eropa dan amerika dan banyak bangsa dimuka bumi ini, ketika memecahkan persoalan kehidupan menetapkan solusi dengan memisahkan agama dari realitas kehidupan dan mengembalikan kekuasaan membuat undang-undang kepada kehendak umum manusia, yakni kepada akal manusia. Aqidah kapitalisme menjadikan hukum mayoritas, sebagai penunjukkan kebebasan, selanjutnya menjadi penunjukkan al-haq (kebenaran) dan as shawab (kebenaran).
Dari aqidah kapitalisme ini tumbuh konsep “kedaulatan umat”, bahwa umat adalah satu satunya pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi dan absolut dalam menetapkan hukum terhadap benda dan perbuatan. Atas dasar konsep “kedaulatan umat” inilah tegak sistem demokrasi sebagai bentuk sistem pemerintahan, terpancar dari aqidah kapitalisme, yang memisahkan agama atau hubungan agama dengan penecahan problema manusia dan kehidupan.
Jadi, demokrasi datang dari pandangan bahwa manusialah yang membuat peraturan untuk dirinya. Dengan demikian umat adalah sumber kekuasaan, umatlah yang membuat aturan aturanya.Umat pula yang menggaji penguasa untuk melaksanakan peraturan tersebut dan umat dapat mencopot kekuasaan itu dari penguasa kapan saja umat menginginkannya. Umat membuat aturan yang ia inginkan, karena pemerintahan adalah akad ijarah (kontrak kerja) antara rakyat dan penguasa memerintah dengan sistem (aturan) yang telah dibuat oleh rakyat. Demikianlah, kita jumpai revolusi francis menjadikan demokrasi sebagai dasar perundang-undangan, ketika pasal tujuh deklarasi hak hak asasi tahun1789 M yang menyatakan bahwa “undang-undang adalah ungkapan kehendak umat”, kemudian pernyataan tersebut diulangi kembali dalam deklarasi hak hak asasi manusia (Declarationn of Human Right), yang dikeluarkan bersama undang-undang Dasar (Konstitusi) Perancis tahun 1793 M, ditegaskan pada pasal dua puluh lima; “Kedaulatan terintegrasi pada diri rakyat”. Jadi, rakyat adalah pemilik kedaulatan.Dan undang-undang merupakan ungkapan kehendak rakyat, sesuai konsepsi ini maka “pandangan kedaulatan umat” adalah dasar (asas) tegaknya sistem demokrasi.
Jika benar pendapat bahwa sesungguhnya sistem demokrasi dari aspek perundang-undangan tegak atas dasar ideology kedaulatan umat, maka pembedaan (pemisahan) antara konsepsi kedaulatan umat dengan demokrasi merupakan pandangan yang dangkal.Karena keduanya merupakan konsepsi yang saling mengikat, maka tidak ada demokrasi tanpa adanya kedaulatan ditangan umat dan tidak ada kedaulatan milik umat pada kondisi hilangnya demokrasi.
Dari sini mencuat pendapat bahwa Negara-negara demokrasi dan sistem pemerintahan didalamnya tegak berdasarkan ideology kedaulatan umat. Pendapat tersebut sebenernya merupakan pengungkapan dari sisi pemikiran yang sama. Akan tetapi dari dua aspek yang berbeda. Demokrasi adalah ungkapan dari bentuk politis (artinya sistem pemerintahan Negara). Adapun prinsip kedaulatan umat yaitu pengungkapan dari sisi perundang-undangan. Berdasarkan pemahaman realitas deskriptif kapitalisme mengenai “kedaulatan umat” dalam sistem demokrasi, maka yang dimaksudkan dengan konsep kedaulatan umat adalah bahwa undang undang merupakan ungkapan dari kehendak umat.Seperti yang tercantum pada pasal enam deklarasi hak hak asasi (declaration of right) tahun 1789 M, ketika revolusi perancis menjadikan demokrasi menjadikan ideology perundang-undangan. Kemudian asas kedaulatan umat kembali diulangi pada deklarasi hak hak manusia yang keluar bersama dengan undang-undang dasar (kontitusi) perancis tahun 1793 M yang pada pasal dua puluh lima mencantumkan bahwa kedaulatan terintegrasi pada diri rakyat. Dengan demikian madzhab demokrasi dia mengembalikan dasar kekuasaan atau sumbernya kepada kehendak umat.
Oleh karena itu istilah “demokrasi” yang berdiri atas dasar kedaulatan rakyat, dinegara Negara barat pada mayoritas kondisi dipakai dengan pengertian yang disematkan oleh revolusi perancis. Dan kita maksud adalah penunjukkan atas prinsip egaliterisme dalam hak hak politik, kemasyarakatan dan ekonomi diseluruh tempat, dan keikutsertaan umat atas pemerintahan melalaui lembaga perwakilan dimana dalam pemilahan anggota anggotanya, semua orang dari rakyat, yang sudah dewasa ikut serta dalam memilih berdasarkan pandangan “satu suara untuk satu orang.
Hak absolut rakyat untuk mensyariatkan (menetapkan hukum) bagi seluruh perkara secara umum dengan suara mayoritas para wakil rakyat. Atas dasar ini kehendak rakyat yang terpancar dari sistem demokrasi maksudnya yakni dari cara pandang minoritas bahwa kehendak mayoritas ini memiliki kebebasan yang tidak terikat dengan satu ikatan apapun dengan ikatan-ikatan yang berada diluar dirinya.

B. Pandangan Islam Terhadap Demokrasi
1.      Pandangan Demokrasi Rasional
Untuk membantah demokrasi secara rasional,atau dengan keargumentasi rasional (‘aqliyyah) bukan dengan argumentasi Syar’iy, harus ada penjelasan asas-asa yang berkaitan dengan demokrasi, dalam rangka membantah secara mematikan.
Asas-asas itu adalah: pertama, akal adalah al-Hakim dari sisi pahala dan siksa. Kedua, Pengkudusan (keagungan dan pensucian) terhadap pendapat yang keluar dari kehendak umum umat. Dan perincian pembantahannya adalah sebagai berikut:
a.       Bantahan Asas Pertama bahwa Akal merupakan Al-Hakim dalam Aspek Pahala dan Siksa
Sesungguhnya menjadikan akal sebagai al-Hakim atas af’al (perbuatan) dan asya (sesuatu), dari aspek pujian dan celaan atasnya di dunia, dan adanya pahala dan siksa atasnya di akhirat,maka akan tergambar satu kemustahilan wujudnya secara rill dalam kancah kehidupan.demikian itu, akal tidak mampu mendeskripsikan keterpujian iman,ketercelaan kekufuran, keterpujian potong tangan bagi pencuri, dan ketercelaan meminum khamr. Akal juga tidak mampu menjelaskan terpujjinya tiadanya ikhtilath (campur baurnya) antara laki-laki dan perempuan yang tidak masyru’ah (keperluan yang tidak dibenarkan syari’at), dan tercelanya memandang wanita pada bagian yang diharamkan. Dengan itu akal berada dalam pertanrungan secara kontinyu dengan kecenderungan naluri fitriyah. Jadi,apa yang dihukumi akal adalah satu perkara, dan apa yang menjadi kecenderungan naluri merupakan perkara yang lain.
Kemudian bahwa realita yang dapat dilihat dan diindera, adalah adanya perbedaan pemahaman antar makhluk. Apa yang dilihat seseorang sebgai terpuji, orang lain bias jadi melihat sebaliknya yakni sebagai hal yang tercela. Seorang hakim berdasarkan akalnya melihat suatu perbuatan layak menerima sanksi, hakim yang lain melihanya sebagai perbuatan yang berhak mendapat pujian.
Dengan demikian bantahan terhadap pendangan bahwa ” akal adalah hakim” dapat dilihat dari 3 aspek:
a)      Esensi Memahami Relaitas Akal
Sesungguhnya metode berfikir adalah tata cara (kaiffiyah) yang dengan tata cara itu akal menghasilkan pemikiran. Metode berfikir itu sendiri adalah definisi akal, yakni sesuatu yang sesuai dengan realitas akal.  Dengan demikian mungkin dengan mendefiniskan metode rasional (thariqah “aqliyyah) dalm berfikir yakni manhaj (metode) tertentu dalam melakukan pembahasan yang digunakan untuk mencapai pengetahuan akan hakikat sesuatu yang dibahas, dengan jalan pemindahan gambaran susatu fakta keotak melalui panca indra, dan adanya pengetahuan terdahulu ( ma’lumat as-sabiqah) yang dengannya fakta ditafsirkan, sehingga otak mengeluarkan hukum (interpretasi) terhadapnya (terhadap fakta).
Hukum yang dikeluarkan itu adalah al-fikr (pemikiran) atau al-idrak al –aqliy (kesadaran yang bersifat rasioanal). Oleh karena itu ibnu al-Arabi memastikan dengan pendapatnya: “sesungguhnya tidak ada hukum bagi akal“ karena kemustahilan adanya kemampuan akal untuk mengeluarkan hokum atas perkara yang tidak terindra (di luar jangkauan akal).
b)      Ketundukan Hukum-Hukum Akal Pada Kecenderungan Yang Fitri (Alami)
Sebagaimana akal tidak boleh mengeluarkan hukum sesuatu yang tidak mampu menginderanya, akal juga tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkan kecenderungan fitriyahnya. Karena fakta kecenderungan fitriyahnya, ia mengeluarkan hukum terpuji hanya kepada apa-apa yang sesuai dengannya saja, dan hanya akan mencela apa-apa yang bertentangan dengannya. Hal ini merupakan standar yang salah secara pasti, dan menjadikan hokum baginya adalah sebuah kesalahan yang besar, karena menjadikan hukum bertentangan dengan faktanya.
Dan akal disini tidak jauh dari ketundukan terhadap pengaruh kecenderungan fitriyah (alami). Hal itu mempengaruhi akal ketika berfikir sehingga akal akan mengeluarkan hukum atas perbuatan atau sesuatu berdasarkan anggapan bahwa hal tersebut dapat merealisasikan dorongan kecenderungan fitriyah (alami-nya). Sehingga akan mengeluarkan hukum berupa pujian terhadap perkara yang tercela, mengeluarkan celaan terhadap perkara yang terpuji.
c)      Aspek Ketiga, Perbedaan Hukum Karena Perbedaan Waktu dan Individu
Ketetapan bahwa akal adalah pemilik kedaulatan dan dia adalah al-hakim, berarti ketetapan adalah benar suatu perbuatan pada satu waktu dihukumi dengan pujian (terpuji), kemudian pada waktu yang lain dihukumi dengan celaan (tercela). Juga merupakan ketetapan bahwa suatu perbuatan dihukumi dengan pujian oleh Zayd dan celaan dari Amru adalah benar.
Karena jika manusia dibiarkan menentukan hukum atas perbuatan, dari aspek pujian dan celaan, maka hukum akan berbeda-beda seiring perbedaan individu dan waktu. Manusia tidak mampu menetapkan hukum yang bersifat tetap. Karena masalah hukum dari aspek ini (celaan dan pujian serta akibat yang ditimbulkan dari aspek pahala dan siksa), maka hal itu tidak masuk dalam jangkauan akal manusia.
Suatu yang terjangkau oleh indera, yang tidak ada dua orang manusiapun yang berselisih, bahwa manusia pada suatu hari menghukumi sesuatu materi sebagai terpuji, kemudian pada hari lain ia menghukuminya sebagai yang tercela. Dengan demikian hukum atas suatu perkara menjadi berbeda beda (berubah-ubah), hukum tidaak menjadi konsisten, dan hali ini akan menghantarkan pada kesalahan hukum. Perundang-undangan manusia yang lahir dari lembaga demokrasi, bukan hukum yang konsisten (tetap). Didalam teks-teksnya tidak terdapat sifat boleh secra mutlak. khususnya yang berkaitan dengan hak-hak yang berkaitan dengan individu, serta tanggung jawab yang pribadi. Semua itu tidak lain karena dibangun berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan pragmatis yang berkembang. Sebagai mana diketahui secara umum, kemaslahatan dan kebutukan, berubah dan berganti berdasarkan perubahan kondisi dan keadaan. Tidak asing dalam sejarah perundang undangan manusi, bagian akhir suatu ketetapan hokum menentang bagian awalnya dalam hal princiannya. Dan tidak asing perkara yang dibenci berubah menjadi perkara yang disukai untuk dilakukan, dan perkara yang berbahaya dan dibenci menjadi suatu yang boleh dan sesuatu yang semual dianggap keji berubah menjadi sesuatu yang biasa.
b.      Bantahan asas kedua yaitu pengkudusan pendapat yang lahir dari kehendak umum mayoritas umat.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa system demokrasi tegak diatas asas pandangan kedalautan adalah milik umat. Karena pendapat, bahwa suatu Negara dari negarra-negara demokrasi, dan bahwa sitem pemerintahan disalamnya tegak berdasarkan prinsip kedaulatan milik umat merupakan pengungkapan dari satu pemikiran akan tetapi dalam dua aspek yang berbeda: demokrasi merupakan pengungkapan bentuk politik. Sedangkan kedaulatan umat merupakan pengungkapan dari sisi perundang-undangan.
Tidak ada demokrasi kecuali pemerintahan menjalankan perundang undangan yang datang dari rakyat secara langsung. Demikian itu karena, nilai yang diagungkan pemerintahan demokrasi adalah hendaknya rakyat memerintah dirinya sendiri dengan undang undang dari dirinya sendiri. Dan karena sulit untuk mewujudkan gambaran yang tinggi bagi pemerintahan yang demokrasi, maka sesungguhnya demokrasi yang sekrang telah mengkristal dalam aktifitas praktis, bhawa rakya memiliki kekuasaan diskusi politis, dan menetukan garis garis besar, bagi penguasa melalui metode pemilihan para wakil. Dan ini yang membedakan system demokrasi dengan pemerintahan individu. Oleh karena itu, demokrasi adalah hokum pemrintahan mayoritas, dan kedaulatan ada ditangan umat, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kedaulatan umat ini.

Sistem demokrasi mendapat legitimasi dari keberadaan umat sebagai pemilik kedaulatan, tegaknya demokrasi kembali kepada kedaulatan ini, kelangsungan demokrasi disandarkan kepada kedaulatn rakayat, dan sebab keberadaan demokrasi, terpancar dari kedaulatan umat. Sesunggguhnya demokrasi akan menjadi kokoh dan kuat seandainya kedaulatan umat member penjelasan terhadap realitas dan fakta politik pada masa sekarang, dan seandainya hasil praktisnya baik. Akan tetaopi fakta menunjukan fakta sebaliknya.
Demikian itu seruan  bahwa kehendak umum umat menghasilkan undang undang dengan baju kebenaran dan keadilan selam dia muncul dari pendapat mayoritas. Pandangan ini merupakan pandangan yang tidak adaa benarnya sama sekali dan dapat dijelaskan dari beberapa aspek:
a)      konsep kedaulatan menjadikan pendapat mayoritas selalu mejadi pendapat yang legal bersandar kepada kebenar dan keadilan tidaak karena sesuatu pun kecuali karena dia lahir dari kehendak umum umat. Maka pandangan ini menyematkan kepada pendapat mayoritas sifat ma’hum dari terjaga sifat kesalahan dan tidak akan terjadi kesalahan.
b)      dalam system demokrasi seseorang individu tidak akan hidup serta ikut membuat undang undang, mengganti dan menghapusnya, karena kehendanya telah berada ditangan orang yang telah mereka pilih dalam majelis perwakilan, dan ditangan orang-orang yang memgang kekuasaan mutlak. Atas dasar ini, konsep kedaulatan umat ini berbahaya bagi kebebasan maunusia, karena paradigm kedaulatan umat tidak sanggup mencegah kesewenang-wenangan dengan sarana kekuaaan yang mutlak, karena keberadaan paradigma tersebut bukan bertujuan meneletakkan ikatan atau batasan bagi pemegang kekuasaan eksekutif atau legislative.
c)      pemaham kehendak umat, merupakan pemahanan yang kabur dan tidak jelas. Kehendak umat dalam system demokrasi yang dimaksudkan adalah hak umat dalam mengendalikan aktifitas kedaulatan. Akan tetapi seandainya kita menerima adanya kehendak yang independen dari kehendak individu-individu, maka sesungguhnya dari realitanya, kehendak umat itu tidak muncul kecuali dalam bentuk kehendak mayoritas individu umat. Jika demekian maka kedaulatan menjadi milik mayoritas bukan menjadi milik semua umta, maka ini tidak lain   adalah sebab konstitusional dalam hak menundukkan minoritas kepada mayoritas, kemudian mendiskriminasi minoritas dari haknya dalam melaksanakan kedaulatan. Maka jadilah kesewenang-wenangan mayoritas terhadap kehendak umum, dan minrotas   hak-hak yang telah di tetapkan bagi mereka.
d)     jika hakikat suatu permasalahan tersembunyi didalam monopoli dalam mayoritas atas hak melaksanakan aktifitas kedaulatan, artinya apa yang dilihat oleh mayoritas tidak berarti itu adalah perkara yang selalu benar, pendapat minoritas adalah selalu salah. Pendapat bahwa suara mayoritas selalu benar dan adil tidak dating dari orang yang berfikir cemerlang.
Dan ini adalah kondisi sebagian besar negara-negara yang berdiri didunia islam saat ini, karena problem disini adalah problem kepakaran dalam ilmu dan pengetahuan yang berkaitan dengan pendapat yang hendak dilaksanakan didalamnya.
2.      Pandangan Demokrasi Syara’
Sifat yang benar bagi system demokrasi adalah system yang menjadikan pemisahan agama dari kehidupan sebagai qa’idah fikriyyah(kaedah fikriyah) yang di atasnya di bangun pemahaman (konsepsi) kedaulatan milik umat, dan bahwa al-hakimyaitu yang memiliki hak mengeluarkan dan membuat hukkum-hukum atas perbuatan manusia, adalah akal saja, jadi tidak ada hubungannnya dengan sang pencipta, berikan apa yang menjadi milik kaisar adalah untuk kaisar, dan apa yang menjadi milik Tuhan bagi Tuhan.
Maka dalam demokrasi, al-hakim, dan as-siyadah (kedaulatan) dan kekuasaan mengeluarkan hukum-hukum, hanya milik akal bukan syara’.Jadi, manusia adalah al-Hakim, manusia adalah musyari’ (pembuat hokum atas perbuatan dan materi) dan manusia adalah pemilik kedaulatan yang tercermin dalam pendapat mayoritas.
Inilah konsepsi demokrasi.Dia adalah obyek di dalam system politik dan demokrasi adalah sebuah system yang berusaha diwujudkan oleh kebanyakan orang.Dan jadilah aktivitas untuk kesuksesan oleh kebanyakan orang.Dan jadilah aktivitas untuk kesuksesan system demokrasi dijalankan dengan perjuangan hingga titik darah penghabisan.Sebagian besar ulama kaum muslim beranggapan bahwa demokrasi merupakan bagian dari hokum syara’.Demikian juga berbagai perjanjian politik yang bervariasi yang dibuat oleh Khalifah Islamiyah, dipandang sebagai penerapan riil dan poraktis dari system demokrasi.
Untuk membantah demokrasi dalam pandangan syara’, kami akan memfokuskan pada beberapa pembahasan antara lain:
a)      Kedaulataan Dalam Islam Milik Syara’, Dalam Demokrasi Milik Rakyat
Undang-Undang Dasar (Konstitusi) negara-negara yang tegak di dunia Islam di dalamnya menyatakan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat, mengadopsi pemikiran demokrasi sebagai system pemerintahan. Ketika mencantumkannya, hal itu dipandang sebagai cerminan kekuasaan umat, untuk menjauhkan kesewenangan-wenangan, menolong keadilan dan menghancurkan kezaliman.Bahkan lebih jauh, teks itu diletakkan dengan anggapan bahwa demokrasi adalah syura yang didatangkan oleh Islam sebagai hokum syara’, yang kemudian konsep kedaulatan milik rakyat dianggap tidak bertentangan dengan Islam, bahjan dianggap sebagai Islam yang murni.
Pendapat ini dalam pelaksanaannya-secara hakiki- merupakan penghacuran terhadap Islam sejak dari asasnya.Karena dalam Islam tidak dating satu nash-pun yang menunjukkan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat. Akan tetapi, seluruh nash telah menyatakan secara sangat jelas bahwa kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik rakyat. Dan penetapan hukum adalah dengan apa yang didatangkan oleh wahyu, bukan (yang dibuat) majelis umat. Dan perundang-undangan yang menjadi tempat rujukan ketika ada perselisihan dan perdebatan adalah al-qur’an, as-sunnah, ijma’ ash-shabat dan qiyas.Bahkan banyak bertebaran nash-nash yang qath’iy ats-tsubut (pasti sumbernya) dan qath’iy ad-dilalah (pasti penunjujannya) yang menafikan iman dari setiap orang yang berhukum kepada selain Allah dan Rasul-Nya.Untuk memetapkan bahwa kedaulatan adalah hanya milik syara’ secara mutlak maka harus dipaparkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan as-sunnah dan ijma’ sahabat.
1)      Dalil Pertama: Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an banyak nash yang menunjukkan bahwa syara’ adalah satu-satunya pihak yang memegang kedaulatan mutlak bagi alam, kehidupan dan manusia. Nash-nash tersebuat adalah:
a)      Nash pertama: firman Allah
Description: D:\ARAB\4_59.gif
Hai, orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan pemimpin dari kalian, jika kalian berselisih dalam satu urusan maka kembalikanlah kepoada Allah dan Rasul jika kamu sekalian beriman kepada Allah dan hari kiamat (QS. An-nisa’ [04]:59)
b)      Nash kedua: Firman Allah                                          
Description: D:\ARAB\25.QS.04.58.jpg
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah-amanah kepada pemiliknya, dan apabila kamu menetapkan hkum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. An-nisa’ [04]: 58)



c)      Nash ketiga: Firman Allah
Description: D:\ARAB\assyuro 10.jpg
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah.(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku.Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali. (QS. Asy-Syura [42]:10)
Nash-nash ini di antara ayat-ayat kitab Allah yang Qath’iy ats-tsubut dan tidak ada ruang untuk mengingkarinya.Semua mengungkapkan dengan kalimat yang terang tanpa kesamaran memberikan penjelasan yang satu bahwa kedaulatan adalah milik syara’ bukan milik akal manusia, milik Allah bukan milik manusia. Dan metode penunjukkan ayat-ayat ini membatasi kedaulatan hanya di tangan syara secara mutlak, dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu:
(a)    Kewajiban Taat Kepada Allah Dan Rasul-Nya Secara Mutlak
Ini terkandung dalam ayat yang menjelaskan mengenai kepemimpinan, firman Allah:
Description: D:\ARAB\annisa 59.gif
Hai, orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan pemimpin dari kalian, jika kalian berselisih dalam satu urusan maka kembalikanlah kepoada Allah dan Rasul jika kamu sekalian beriman kepada Allah dan hari kiamat (QS. An-nisa’ [04]:59)
Firman Allah, Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) merupakan perintah. Dan perintah tidak menunjukkan status wajib kecuali ada qarinah (indikasi) yang menjelaskannya.Terdapat nash-nash yang menjadi qarinah jazim (indikasi yang pasti) yang menunjukkan bahwa perintah tersebut adalah wajib.Hal tersebut dengan mengkaitkan antara taat dengan iman kepada Allah dan hari akhir.Pengkaitan itu menjelaskan dengan jalan konotasi berkebalikan (mafhum al-mukhalafah) atas penafian iman dari orang-orang yang tidak mentaati Allah dan juga tidak kepada Rasul-Nya. Sayid Qutub berkata: “di dalam nash yang pendek ini Allah menjelaskan:
ü  Syarat iman
ü  Kesatuan Islam
ü  Kaidah sistem politik dalam jama’ah kaum muslim
ü  Kaidah pemerintahan (hukum)
ü  Sumber kekuasaan
Semuanya berawal dan berakhir kepada wahyu dari Allah saja, dan dalam perkara di dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah yang dari aspek perinciannya tidak ada nashnya, merujukkepada-Nya, di antara perkara-perkara yang di dalamnya berbeda-beda antara rasio, pendapat dan pemahaman, untuk mewujudkan standar baku disana sebagai tempat rujukan bagi akal, pendapat dan pemahaman. Sesungguhnya penghakiman dalam kehidupan manusia baik perkara besar maupun perkara kecil hanya milik Allah saja dan Allah wajib uauntuk ditaati, maka syari’atnya wajib untuk diimplementasikan.Dan iman terkait erat ada atau tidak adanya-dengan ketaatan ini.
Dan ayat-ayat kepemimpinan adalah bagian dari ayat-ayat hukum yang berkaitan langsung dengan system pemerintahan, demikian itu karena diperintahkan juga taat kepada ulil amri, maka perintah taat secara mutllak berarti memastikan tidak adanya ketaatan kepada selainnya. Taat kepada Allah tidak akan terealisir kecuali dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi setiap perkara yang dilarang. Maka syara’ menjadi pemilik kedaulatan dalam kehidupan, dan sama sekali tidak ada kedaulatan abgi selain syara’.
(b)   Wajib Berhukum dengan Syara’ Secara Mutlak
Description: D:\ARAB\annisa 65.gif
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-nisa [04]: 65)
Dalam ayat ini dijelaskan tentang hakikat yang menyeluruh dari hakikat Islam,.Ayat tersebut datng dalam bentuk deskripsi sumpah yang dikuatkan, dan bersifat muthlaq tanpa suatu batasan, dan disana tidak ada ruang kesamaran dan kerancuan, bahwa berhukum kepada rasul adalah berhukum dengan syari’at dan manhaj baliau.Jika tidak, maka tidak ada tempat bagi syari’atAllah dan Sunnah Rasul-Nya setelah wafatnya beliau.Yang demikian itu pendapat orang-orang yang sangat murtad dan keluar dari petunjuk di masa Abu Bakar ra.Maka ayat tersebut dengan fase sumpah menafikkan iman secara sangat tegas dari setiap manusia yang menolak berhukum dengan syara’ yaitu al-qur’an dan as-Sunah dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya sebagai dalil yaitu Ijma’ shahabat dan Qiyas. Bahkan lebih dari itu, ayat ini menuntut agar seorang muslim tidak merasa dalam dirinya meski hanya sekedar keraguan dalam berhukum kepada syara. Oleh karena itu hanya syara’ sematalah yang memiliki kedaulatan mutlak terhadap segala apa yang ada dalam kehidupan berupa interaksi diantara manusia. Secara syar’iy, tidak boleh menolak sebagian dari Islam yang tegak dalil atasnya. Diriwayatkan dari Imam Jafar ash-Shadiq, beliau berkata: “andaikam ada sebuah kaum yang mereka itu beribadah kepada Allah, mendirikan solat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji, kemudian mereka berkata terhadap sesuatu yang telah diperbuat Rasul saw, hanya saja mereka melakukan yang berbeda dengan apa diperbuat Rasul atau mereka merasa ada rasa sempit dalam diri mereka dalam hal itu, maka mereka termasuk (orang) musyrik”.
Karena apa yang dating dari Rasul adalah syariat yang dating dari Allah, karena telah diperintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul dan ini adalah perintah wajibnya mengikuti al-Kitab dan as-Sunah. Dengan demikian, sesungguhnya setiap orang yang mencela hukum Rasullallah saw maka dia adalah kafir. Pada ayat ini menjelaskan dengan rinci wajibnya merujuk kepada hokum syara’ yang dinyatakan di dalam al-qur’an dan  as-Sunah pada setiap perselisihan yang ada. Dalam bentuk nakirah berkonotasi penegassan ini bersifat umum mencakup setiap perselisihan kaum mukmin dari permasalahandunia dan agama mereka.Andaikan tidak ada dalam al-Kitab dan as-Sunah penjelasan hokum sesuatu yang diperselisihkan atau tidak mencukupi, maka tidak diperintahkan kembali kepadanya.Karena adalah tudak mungkin Allah memerintahkan ketika terjadi suatu perselisihan agar merujuk kepada seseorang yang tidak memiliki penjelasan terhadap perselisihan itu.Kemudian ayat ini menjadikan sikap merujuk klepada hukum-hukum syara’ sebagai konsekuensi iman, jika tidak merujuk kepada syara’, maka tidak ada iman.
Di sini terjadi pentingnya meniadakan yang diharuskan karena ketiadaan yang mengharuskannya.Maka merujuk kepada Allah adalah merujuk kepada syara’.Dan merujuk kepada selain Allah tidak lalin adalah merujuk kepada akal, atau kepada apa-apa yang disyari’atkan manusia dengan dirinya sendri untuk dirinya sendri seperti yang dikatakan oleh demokrasi, yaitu pemerintahan rakyat untuk rakyat oleh rakyat atau dia adalah hukum mayoritas.Nash-nash al-Qur’an tidak memberikan tempat sedikitpun akan adanya keraguan bahwa syara’ adalah satu-satunya tenpat rujukan untuk membuat Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar, dan bahwa syara’ merupakan hukum yang menjelaskan rincian hukum dalam setiap persoalan yang diperselisihkan.
(c)    Hukum Selain Allah Adalah Kufur
Nash-nash syara’ tidak cukup sekedar menjelaskann wajibnya taaat kepada Allah dan Rasul-Nya.Demmikian juga nash-nash al-Qur’an juga memnjelaskan keharaman berhukum kepada hukum atau undang-undang selain syara’.Bahkan menjelaskan bahwa apa selain syara’ berupa perundang-undangan positif semuanya adalah kekufuran yang nyata.Karena ia tidak berasal dari apa yang diturunkan Allah, bukan dari sunah Rasul-Nya, bukan dari Ijma’ shahabat dan bukan pula ditetapkan dengan qiyas. Akan tetapi ia adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan masnusia yang hidup di alam ini, dari aspek pujian dan celaan, pahala dan siksa kelas di hari akhir, sesungguhnya semuanya adalah thaghut, yang Allah memerintahkan manusia agar mengingkarinya.

Description: D:\ARAB\nisa 60.gifApakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An-nisa [04]:60)
      Imam Ibnu Katsir berkomentar: “ini adalah pengingkaran Allah atas orang yang mengklaim beriman kepada ap yang dioturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan para Nabi-Nabi yang terdahulu. Bersamaan dengan itiu mereka hendak berhukum dalam menyelesaikan persengketaan kepada selain kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunanh Rasul-Nya, sebagaimana disebutkan dalam sabab an-nuzul ayat ini, bahwa seorang laki-laki dari Anshar dan seorang laki dari yahudi, mereka berdua berada dalam perselisihan, kemudian orang yahudi mengatakan: antara aku dan kamu adalah Muhammad, dan orang Anshar mengatakan “antara aku dan kamu adalah ka’ab bin al-Asraraf” dan juga dikatakan mengenai sekelompok orang-orang munafik yang menampakkan keislamnnya, mereka hendak berhukum kepada penguasa-penguasa jahiliyah dan juga dikatakan selain itu.Ayat tersebut lebih umum dari semua itu yakni ayat tersebut mencela semua orang yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunah, dan berhukum kepada selain keduanya berupa kebatilan, dan inilah yang dimaksudan dengan Thaugghut di sini.Dan yang benar Thaughut itu lebih umum dari kebatilan bahkan jauh lebih keji dari kebatilan.Thaughut adalah apa-apa yang bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah. Yakni berhukum dengan hukum jahiliyah atau dengan kekufuran, dan inilah pendapat Ibnu al-Qayim, beliau mengatakan: “sesungguhnya orang yang berhukum atau memutuskan hukum kepada selain apa yang dating dari allah dan Rasul-Nya, sungguh thauughut-lah yang menghukumi dan ia telah berhukum kepada thaughut”. Dab thaughut adalah setiap kaum yang berhukum kepada selain apa yang dating dari Allah dan Rasul-Nya, atau mengikuti selain petunjuk dari Allah. Karena keumuman dalil memberikan penjelasan pada wajibnya mengikuti apa yang dating dari Rasul saw. Karena apa yang datang dari Rasul saw adalah satu-satunya petunjuk, firman Allah:

                        Description: D:\ARAB\annisa 115.png
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-nisa [04]:115)

Setiap jalan selain manhaj petunjuk yang dibawa oleh Rasulallah Muhammad saw adalah bukan jalan kaum mukmin. Dan setiap jalan yang bukan jalan kaum mukmin ini adalah kekufuran kepada Allah.Krena kekufuran kepada Allah dan Rasul-Nya bukan jalan kaum mukmin dan bukan manhaj mereka. Dan demikian juga setiap orang yang mencela Rasul saw, dalam hukum maka dia adalah kafir, karena bertentangan antara keimanan dengan wajibnya ittiba apa yang didatangkan oleh Islam.
                                                Description: D:\ARAB\nisa 64.png
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaatidengan izin Allah.Sungguhsekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad) lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk merekaniscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa [04]: 64)
Artinya Allah seolah-olah berfirman aku tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali Aku wajibkan ta’at kepadanya atas orng-orang yang Aku uutus rasul kepada mereka. Dan Muhammad saw adalah Rasul, siapa yang meninggalkan ketaatan dan kerelaan terhadap m,enyalahi perintahku dan melalaikan kewajiban dari-Ku. Dan ia telah jatuh dalam kekufuran, karena di antara konsekuensi iman adalah keridhaan dan penerimaan sepenuhnya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT mwngingkari orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang mengandung semua kebaikan, dan mencegah dari semua kerusakan dan keburukan. Dan lalu berpaling kepada selainnya, di antara pendapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang diletakkan oleh manusia yang tidak bersandar kepada hukum Allah, sebagaimana orang-orang jahiliyah yang memnghukumi dengan kesesatan dan kebodohan berupa hukum yang mereka susun dengan kesehatan dan kebodohan berupa hukum yang mereka susun dengan pendapat-pendapat dan hawa nafsu mereka. Maka kesesatan manakah yangn lebiih buurk dan keji dari memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah? Dan kesalahan mana yang lebih fatal dari pada berhukum kepada hawa nafsu, dan thaughut?Mana yang lebih besar dari pada menjadikan manusia yang merupakan makhluk menduduki posisi al-khaliq, dengan menjadikan akal manusia sebagai pembuat hukum atau Musyari atau al-Hakim? Dan kekufuran mana yang lebih jauuh kekufurannya dari pada makhluk mengikuti makhluk semisalnya dalam persoalan hukum, dan meningggalkan apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad saw? Jadi, berhukum kepada apa apa yang diturunkan oleh Alah berarti mengikuti syayra’. Dan berhukum kepada selain apa yang diturunkan oleh Allah berarti mengikuti kekafiran. Maka syari’at adlah satu-satunya yang benar. Dan tidak ada sesuatu yang dibuat dari hawa nafsu dan kesesatan seperti yang disebut sebagai sosialisme, kapetalisme atau demokrasi, semuanya adalah hukum dengan selain apa yang ditrunkan oleh Allah.
Karena setiap undang-undang yang manusia berhukum dengannya selain yang berasal dari Islam, tidak lain seperti yang ditegaskan dalam ayat al-Qur’an, yakni thaughut, dan jahiliyah yang bertumpuk-tumpuk kebodohannya, dan kembali bersama manusia kepada pengembalian dimana mereka dilemparkan ke neraka Jahannam. Ini bukan jalan kaum mukmin.Adapun ittiba mengikuti Islam adlah jalan orang yang beriman Di dlamnya terdapat kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.
Sayid Qutub berkata: “disana terdapat system yang satu yakni system Islam, dan system-sistem selailnnya adalah  system jahiliyah. Di sana terdapat syari’at yang satu yakni syari’at Allah dan syari’at selainnya adalah hawa nafsu.
            Description: D:\ARAB\al jatsiyah 48.png

Kesudahannya Kami jadikan engkau (wahai Muhammad dan utuskan engkau) menjalankan satu Syariat (yang cukup lengkap) dari hukum-hukum agama; maka turutlah Syariat itu, dan janganlah engkau menurut hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (perkara yang benar). (QS. Al-jatsiyah[45]:18)
Dari nash-nash ini secara global, jelas bahwa berhukum dengan selain syari’at Allah adalah kekufuran yang nyata.Dan bahwa setiap undang-undang yang tidak terpancar dari aqidah Islam alah thaghut, dan mengingkarinya adalah wajib. Jadi, Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad saw. Selain Islam tidak diterima sedikitpun dari manusia, dan tidak juga syari’at selain syari’at Islam.Maka demokrasi merupakan system produk manusia dengan bisikan akalnya yang lemah dan tidak mampu menjangkau segala sesuatu, lebih-lebihi kecenderungannya untuk bertentangan, yaitu cenderung kepada hawa nafsu dan kesehata. Dengan demikian setiap orang yang berhukum kepada selain yang diturunkan Allah dengan meyakiniu tidak layaknya Islam untuk kehidupan makan ia kafir secara pasti dan siapa saja yang berhukum kepada selain yang diturunkan Allah dan tidaj berkeyakinan demikian maka sesuai pernyataan nash al-Qur’an, dia adalah fasik atau zalim.
2)      Dalil kedua, as-Sunnah
Sebagaimana al-Qur’an yang mennjelaskan dengan banyak nash bahwa kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik rakyat, maka demikian juga as-Sunah telah menerangkan demikian, baik dengan perkataan (sabda Nabi) maupun perbuatan (Nabi saw).
3)      Dalil ketiga, Ijma’ Sahabat
Telah menjadi ijma’ sahabat bahwa keaulatan adalah milik syara’. Tidak seorangpun dari Hulafa ar-Rasyidin yang keluar dari nash kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Demikian itu terjadi dalam seluruh persoalan hidup.Karena mereka memahami behwa berhukum kepada syara’ merupakan salah satu konsekuensi iman sehinngga tidak ada iman jika tidak berhukukum kepada syara’. Oleh karenanya, para Imam (khalifah) setelah Rasul saw. Saling bermusyawarah dengnan para pakarr dan ulama dalam urusan mubah untuk mengambil perkara yang paling mudah. Dan jika al-Kitab dan as-Sunah telah menentukan, maka mmereka tidak akan melanggarnya sebagai bentuk peneladanan kepada Nabi saw. Dan ini tidak menjadi hambatan untuk melakukan tabanni (pengadopsian hukum) oleh Khalifah, karena perintah khalifah dapat mencegah perselisihan. Para Khalifah, di antara para sahabat berpegang teguh dengan nash-nash syara’.
b)               Sekularisme Adalah Dasar Fiilosofis Demokrasi
Ideologi kapitalisme tegak berdasarkan asas pemisahan agama dari kehidupan, dan pemisahan agama dari Negara. Jadi, system pemerintahan tidak ada hubungannnya dengan agama. Demokrasi sebagai deskripsi dari system pemerintahan dalam ideology kapiltalis, lahir dari pandangan bahwa manusialah yang berhak menggagas sistemnya. Dengan demikian umat menjadi sumber kekuasaan, dan kedaulatan adalah milik umat bukan milik syara’. Maka perundang-undangan tidak akan di ubah atau diganti kecuali dengan pendapat mayoritas.
Kedaulatan dalam demokrasi adalah milik rakyat sementari dalam system pemerintahan islam adalah milik syara’. Adalah sangat kontradiktif antara orang yang menegakkan sistemnya berdasarkan syara’ dengan orang yang menegakkan sistemnya berdasarkan akal. Jadi system pemerintahan islam tegak atas dasar syara’ sementara system demokrasi tegak atas dasar pemisahan agama dari kehidupan, maka atas dasar ini demookrasi adalah system yang kufur yang Allah tidak menurunkan bukti tentang keabsahannya.
c)               Al-Hakim Adalah Syara’ Bukan Akal
Asas yang darinya dibangun falsafah demokrasi adalah keberadaan akal sebagai al-Hakim (pembuat hukum). Karena hukum mayoritas yang melegislasi perundang-undangan dengan sifatnya sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya tempat rujukannya adalah akal dan tidak bersandar kepada syara’ atau agama. Adapun dalam Islam, syara’ lah yang menjadi al-Hakim.
Adapun obyek hokum yaitu terkait dengan Hasan (terpuji) dan Qabih (tercela), karena maksud pengeluaran hukum adalah untuk menentukan sikap manusia terhadap perbuatan, tergantung pada dua perspektif:
ü  Dari aspek realitas perbuatan, artinya sifat kesempurnaan dan kekurangan seperti perkataan kita ilmu (mengetahui) dan hasan (terpuji) dan bodoh adalah Qabih (tercela)
ü  Dari aspek keserasian dan tidaknya dengan tabi’at dan kecenderungan fitri manusia, missal menolong orang yang tenggelam adalah Hasan (terpuji) dan mencuri adalah Qabih (tercela).
Pendapat kedua adalah yang benar, karena sesuai dengan realitasnya dan apa-apa yang ditunjuk oleh banyak nash dalam kewajiban itiba’ kepada syara’ dan kewajiban berhukum kepadanya di dalam persengketaan-persengketaan dan agar terkait dengan apa yang diturunkan Allah SWT. Di dalamnya ada keadilan, kebaikan dan kebenaran.
Jadi, syara’ adalah al-Hakim yang mengeluarkan hokum atas perbuatan manusia dan benda yang terkait dengan perbuatan manusia. Dengan begitu kedaulatan milik syara’ secara mutlak. Demokrasi tegak berdasarkan asas kedaulatan milik rakyat atau milik akal, dan Islam menolak pendangan demikian secara mutlak. Dan Islam menetapkan kaidah bagi pemerintahan bahwa kedaulatan adalah milik syara. Allah berfirman:
Description: C:\Users\USER\Downloads\4_65.gif
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
Berdasarkan hal ini suatu system pemerintahan yang tegak di atas dasar kedaulatan milik syara’ merupakan system yang di turunkan oleh Allah SWT. Adapun jika system tersebut tegak berdasarkan asas kedaulatan milik rakyat maka system itu twlah keluar dari Islam dan dengan begitu artinya berhukum kepada Thaughut. Artinya system itu kufur terhadap apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad . Allah SWT berfirman:
            Description: C:\Users\USER\Downloads\5_49.gif
"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan berwaspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari apa yang diturunkan Allah), maka ketahuilah sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."( QS Al-Maidah:49)
C.        Pemerintahan yang Baik Menurut Islam
Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali dengan sistem-sistem pemerintahan yang  ada di dunia. Baik dari aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek undang-undang dasar serta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara, maupun hal-hal yang menjadikannya beda sama sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di dunia.
1.      Pemerintahan Islam Bukan Monarki
Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki. Kalau sistem monarki, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), di mana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota, dari orang tuanya ; seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibai’at oleh umat dengan penuh ridha dan kebebasan memilih.
Sistem monarki  telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, di mana secara pribadi memiliki kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi umat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau kadang kala menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana saja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, seperti  raja Saudi, Maroko dan Yordania.
Lain halnya dengan sistem Islam, sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan kepada Khalifah atau imam dalam bentuk hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi umat, yang menjadi Khalifah namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Di samping Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Namun, Khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka bai’at dengan penuh ridha agar menerapkan syari’at Allah atas diri mereka. Sehingga Khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum serta pelayanannya terhadap kepentingan umat.

Di samping itu, dalam pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak memperoleh pemerintahan dengan cara waris. Dimana Islam telah menentukan cara memperoleh pemerintahan dengan cara memperoleh bai’at dari umat kepada Khalifah atau imam, dengan penuh ridha dan kebebasan memilih.
2.      Pemerintahan Islam Bukan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem Republik. Dimana sistem Republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya.
Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar aqidah Islam, serta hukum-hukum syara’. Dimana kedaulatannya di tangan syara’, bukan di tangan umat. Dalam hal ini, baik umat maupun Khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah swt semata. Sedangkan Khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak untuk memecat Khalifah. Karena yang berhak memecat Khalifah adalah syara’ semata. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka bai’at, untuk menjadi wakil mereka.
Dalam sistem republik dengan bentuk presidensil-nya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri, sementara yang ada hanya para menteri , semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik dengan bentuk parlementer-nya, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, bukan presiden. Seperti Republik Perancis dan Jerman Barat.
Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun kementerian bersama seorang Khalifah sebagaimana dalam konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem khilafah hanyalah para mu’awin (pembantu Khalifah) yang senantiasa dimintai bantuan oleh Khalifah. Tugas mereka adalah membantu Khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika Khalifah memimpin mereka, maka Khalifah memimpin mereka bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu Khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu’awin tetap hanyalah pembantu Khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.
Selain dua bentuk tersebut—baik presidensil maupun parlementer—dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.
Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan. Karena seorang amirul mu’minin (Khalifah), sekalipun bertanggung jawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk meneriman kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk memberhentikannya. Amirul mu’minin juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara’ dengan penyimpangan yang menyebabkannya harus diberhentikan.
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menteri) dalam sistem republik, baik yang menganut presidensil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum syara’ ataukah tidak. Karena itu, selama Khalifah masih melaksanakan hukum syara’, dengan cara menerapkan hukum-hukum tersebut kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari Kitabullah serta Sunnah Rasul-Nya, maka dia tetap menjadi Khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang dan lama. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara’ serta menjauhkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan.
Dari pemaparan di atas, maka nampak jelas perbedaan yang sedemikian jauh antara sistem kekhilafahan dengan sistem republik, antara presiden dalam sistem republik dengan Khalifah dalam sistem Islam. Karena itu, sama sekali  tidak diperbolehkan  untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem republik, atau mengeluarkan statemen ; “Republik Islam”. Sebab, terdapat perbedaan yang sedemikian besar antara kedua sistem tersebut pada aspek asas yang menjadi dasar tegaknya kedua sistem tersebut, serta adanya perbedaan di antara keduanya baik dari segi bentuk maupun substansi-substansinya yang lain.
3.      Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran amat jauh dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam—sekalipun ras dan sukunya berbeda serta dalam masalah pemerintahan, menganut sistem sentralisasi pada pemerintah pusat—tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem  kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran tersebut. Sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.
Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang  non-Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat—apapun madzhabnya—yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun Muslim.
Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran. Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan eksploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Karena wilayah-wilayah tersebut tetap dianggap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah yang satu dengan ibu kota Daulah Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap  sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabat pemerintahannya, sistem serta perundang-undangannya sama dengan wilayah-wilayah  yang lain.
4.      Pemerintahan Islam Bukan Federasi
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Yang mencakup seluruh negeri seperti Maroko di bagian barat dan Khurasan di bagian timur. Sebagaimana yang pernah dikenal dengan sebutan mudiriyatul fuyum (semacam kabupaten) ketika ibu kota Islam berada di Kairo. Harta kekayaan seluruh wilayah negara Islam dianggap satu. Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka Daulah Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya, ataupun tidak.
Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi, melainkan berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah populer lainnya saat ini. Baik dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya yang lain. Sekalipun dalam beberapa prakteknya ada yang hampir menyerupai dengan praktek dalam sistem yang lain.
Disamping hal-hal yang telah dipaparkan di atas, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, di mana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. Daulah Islam juga tidak akan sekali-kali mentolerir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para  qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat pemerintahan (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.
Pendek kata, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem khilafah. Dan ijma’ shahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah, kesatuan negara serta ketidakbolehan berbai’at selain kepada satu Khalifah. Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha. Yaitu apabila ada seorang Khalifah dibai’at, padahal sudah ada Khalifah yang lain atau sudah ada bai’at kepada seorang Khalifah, maka Khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga Khalifah yang pertama terbai’at. Sebab secara syar’i, bai’at telah ditetapkan untuk orang yang pertama kali dibai’at dengan bai’at yang sah.

Secara politik sistem Khilafah didedikasikan untuk melayani kepentingan masyarakat. Sebab, hakikat dari politik Islam adalah ri’ayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam. Karena itu, penguasa dalam Islam bagaikan penggembala (ra’in) dan pelayan umat (khadim al-ummah).
Prinsip kedaulatan di tangan syariah akan menjamin pelayanan masyarakat ini berjalan baik karena masyarakat diurus berdasarkan syariah Islam. Kedaulatan syariah ini akan menutup intervensi manusia untuk membuat kebijakan hukum maupun politik yang didasarkan pada kepentingan kelompok, hawa nafsu, atau kekuatan modalnya seperti dalam sistem demokrasi yang meletakkan kedaulatan di tangan manusia.
Secara ekonomi, kebijakan yang dijalankan Khilafah adalah memenuhi kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan dan papan). Rakyat didorong untuk bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan itu semua. Kalau belum terpenuhi, keluarganya wajib membantu. Kalau masih belum cukup, negara akan turun tangan. Tidak boleh ada individu rakyat yang mati kelaparan, atau hidup dalam kedingingan karena tidak memiliki pakaian dan rumah.
Sekian tahun telah berlalu, berbagai sistem politik telah dicoba diterapkan di tengah umat Islam. Ada yang sosialis-komunis, ada model monarki, dan sebagai besar tentunya adalah kapitalis sekular. Tidak ada perubahan nyata di tengah-tengah umat. Semuanya telah gagal dalam segala aspek. Negeri Islam meskipun kaya dan jumlahnya penduduk besar menjadi negeri-negeri yang penduduknya miskin, tingkat pengangguran tinggi, terbelakang dalam sains dan teknologi. Negeri-negeri Islam diduduki, dirampas, dipecah-belah dan puluhan juta penduduknya menjadi korban.Karena itu, sesungguhnya umat Islam tidak punya pilihan lain kecuali kembali pada sistem pemerintahan terbaik, yaitu Khilafah.

Kesimpulan
Demokrasi merupakan produk akal sedang Islam adalah wahyu yang difirmankan kepada Rasulullah SAW. Sistem demokrasi kedaulatan tertinggi pada umat(rakyat) yang peraturan-peraturan dibuat untuk mereka sendiri. Bahkan adanya sistem demokrasi dengan pemaksaan realita kedaulatan milik umat, sungguh telah membawa hasil yang bertentangan dengan hal-hal yang diharapkan menjadi resultan penerapan sistem kapitalis. Maka hukum Allah lah yang paling tepat untuk mengatur kehidupan kita karena perintah-perintah dan aturan-aturan (syariat) nya sempurna, agung dan menyeluruh dan tak perlu diragukan lagi.


Saran
Kita sebagai Manusia dan hamba  Allah SWT haruslah kita menanamkan syariat-syariat islam dalam kehidupan kita baik itu dalam peraturan ataupun perintah-perintah nya.
Janganlah kita sedikitpun meninggalkan syariat islam dalam kehidupan sehari hari.
Saya memohon kepada Allah semoga kita semua agar kembali kepada penerapan kaidah-kaidah sistem pemerintahan islam. Karena tanpanya pemerintahan di Negara dan penduduknya akan menjadi pemutusan hukum/pemerintahan dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar